Polemik Petani Padi Dalam Utopia Swasembada Pangan
Polemik Petani Padi Dalam Utopia Swasembada Pangan
Petani di Indonesia adalah kelompok
masyarakat yang selalu mengalami kesulitan dalam mengakses dan menggunakan hak
sosial ekonominya sebagai warga negara. Kualitas sebagian besar sumberdaya
manusia yang berprofesi petani adalah yang terendah, dari segi pendidikan
maupun kesehatan. Ditilik dari pemaparan tersebut, petani adalah produsen
pangan, tetapi merupakan kelompok termiskin di Indonesia, tanpa perlindungan
ekonomi dan sosial yang memadai.
“Ketika Produsen pangan adalah
manusia-manusia termiskin di sebuah negara, maka ketahanan pangan negara itu
akan terancam!!!” (Hira j, penulis buku WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga).
Ketersediaan pangan di Indonesia bergantung
pada ketersediaan lahan, tingkat produktivitas dan kebijakan yang berpengaruh
di dalamnya. Selain ketiga faktor diatas, tingkat kesejahteraan dari produsen
pangan (baca petani) berpengaruh besar dalam menentukan kenaikan dan penurunan
tingkat produksi. Produsen pangan adalah pelaku utama dalam pelaksanaan proses
produksi pangan. Di Indonesia dengan komoditas utama pangannya adalah beras,
membidik produsen pangan negara tropis ini adalah petani padi. Sebagian besar
penduduk Indonesia di wilayah berpenduduk padat bermata pencaharian sebagai
petani dan didominasi oleh petani padi.
Petani padi adalah produsen utama
dari pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kondisi petani sebagai produsen tidak menjamin para petani bisa memenuhi
kebutuhan pokoknya dengan maksimal. Hasil survei menunjukkan bahwa bencana
kelaparan yang terjadi di Indonesia kebanyakan menimpa kaum petani. Petani
adalah kaum yang termarjinalkan dari segi hak sosial ekonominya di Indonesia. Petani sebagai aspek yang selalu menjadi objek
dari berbagai kebijakan pemerintah terkait dengan pembangunan pertanian.
“Kebingungan
sama program pemerintah itu sudah biasa. Kita sebagai petani kecil cuma bisa
menurut saja. Dulu pemerintah memberikan program yang mengubah pola kami dari
tradisional ke konvensional, sekarang setalah lahan sawah dan padi kami
tergantung dengan pupuk kimia dan pestisida, gembar-gembornya kami harus kembali ke organik,
kembali pada alam. Tidak tahu yang didukung disini sebenarnya untuk kemajuan siapa!”
Ungkap salah satu petani padi, sebut saja Pak Joko (bukan nama sebenarnya) yang
memiliki lahan sempit di Desa Sumberngepoh-Lawang.
Pak Gatot Mudjiono selaku dosen hama
penyakit tanaman (HPT) Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya (FP-UB) yang memiliki kelompok tani binaan di
Desa Sumberngepoh Lawang, menyatakan bahwa cara pemerintah dalam mentransfer
kebijakan kepada para petani padi dengan sistem top-downn, adalah cara yang tidak tepat. “Petani dianggap kelompok
masyarakat yang terbelakang dan cenderung penurut, sehingga kebanyakan dari
program pemerintah yang datang kepada mereka selalu mereka iya-kan saja.
Padahal sesungguhnya yang paham mengenai kondisi lahan adalah petani itu
sendiri. ” Tutur beliau dengan sangat serius ketika ditemui oleh tim redaksi di
ruang kerjanya di gedung HPT.
Indonesia memparadigmakan petani
padi sebagai salah satu input produksi yang bertugas untuk membudidayakan padi
semaksimal mungkin sehingga produktivitas meningkat. Rendahnya kualitas
sumberdaya (pendidikan) dari para petani menjadi salah satu faktor utama yang
menyebabkan jalan ditempatnya proses bertani dan kesejahteraan kehidupannya.
Tugas yang diemban para petani dalam menyediakan pangan untuk berjuta-juta
mulut rakyat Indonesia tidak berbanding lurus dengan peningkatan taraf hidup
dari para petani tersebut.
“Pemerintah
sekarang semakin tertekan dengan semakin banyaknya penduduk dan semakin
menyempitnya lahan pertanian. Begitu juga dengan para petani. Keinginan
pemerintah untuk bisa kembali swasembada beras dan kondisi hidup saat ini
semakin membuat petani tidak punya banyak pilihan. Selama ini petani tidak bisa
memilih dan masih kurang pemahaman sehingga kebanyakan dari kami selalu menjual
hasil panen dalam bentuk gabah. Kondisi seperti itu sama sekali tidak
memberikan keuntungan lebih bagi petani karena yang diuntungkan adalah pihak
tengkulak.” Ungkap Pak Kemin yang saat ini menjabat sebagai ketua kelompok tani
padi Sumber Makmur II-Lawang.
Representasi dominan citra petani
sebagai golongan yang miskin, buta huruf, kumuh dan tidak berkembang muncul
dari kegagalan mengangkat tingkat sosial ekonomi petani. Semakin banyaknya kondisi yang tidak
menguntungkan petani karena tidak mampu lagi untuk hidup dari bertani mendorong
beberapa petani di daerah Lawang menjual lahan pertaniannya kepada pihak
swasta. Lahan yang dijual merupakan lahan sawah produktif. “Setahu saya petani
yang menjual lahannya kebanyakan dari Desa Sumberngepoh bagian ujung. Lahan
dibeli dalam jumlah banyak oleh pihak rumah sakit jiwa dan sekarang sudah
dimiliki oleh pihak swasta perumahan. Petani yang menjual kebanyakan yang sudah
merasa cukup tertekan menghadapi harga input produksi yang semakin mahal dan
hasil produksi yang tidak cukup maksimal untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya.”
Terang Pak Joko ketika ditemui di salah
satu warung di dusun Barek. Kondisi yang sama terjadi di berbagai wilayah di
Indonesia, salah satunya adalah di provinsi Jawa Barat. Ketahanan Pangan
terancam dengan banyaknya petani yang semakin terdorong kuat untuk menjual
tanahnya sehingga terjadi konversi lahan produktif sawah secara besar-besaran.
Menurut Pak Gatot, pembangunan dan
kebijakan pertanian harusnya terfokus pada dua hal, yakni pada peningkatan sumber daya manusia dan pada peningkatan
sumber daya alam petani. Petani harus ditempatkan sebagai manajer yang ahli
strategi, sehingga petani akan berpikir dalam meningkatkan perencanaannya.
Petani disini tidak ditempatkan dalam posisi individu melainkan dalam posisi
kelompok. Hal tersebut akan semakin memudahkan proses pengembangan transfer
teknologi yang tepat guna dan sesuai dengan kondisi alam petani sehingga
terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Ketika hal-hal diatas dapat
dijalankan dengan baik maka peningkatan kesejahteraan petani adalah efek utama
yang akan terjadi. Ini akan berpengaruh banyak terhadap produksi pangan di
Indonesia. Beliau menambahkan bahwa salah satu contoh dari petani yang sudah
mulai menerapkan strategi dalam produksinya adalah para petani yang tergabung
dalam kelompok tani sumber makmur II. Pemerintah tidak turut banyak campur
tangan dalam pengembangan kelompok ini. Pemerintah hanya berperan dalam
pemberian sekolah lapang. Adanya keaktifan dari anggota kelompok yang membuat
kelompok ini menjadi berkembang.
“Sebagian besar anggota kelompok adalah petani dengan lahan
kecil dan berpendidikan rendah, sehingga
butuh waktu cukup lama untuk memunculkan perubahan. Kalau pemerintahnya tidak
ada yang sadar dan tidak memonitor secara berkala, petaninya dilepas begitu
saja dengan berbagai macam perubahan yang masih asing mereka tidak akan bisa
seperti sekarang.” Jelas Pak Gatot yang selama ini turut berperan aktif dalam
memfasilitasi para kelompok tani di Desa Sumberngepoh.
“Harusnya ada kolerasi yang baik dan keterdukungan memang,
antara petani sebagai pelaku dan manajer, birokrasi, petugas lapang, akademisi
dan swasta supaya semuanya dapat berimbang dan berjalan dengan baik dengan satu tujuan yang sama
yaitu meningkatkan taraf hidup petani. Sehingga petani tidak ada yang jera dan
tetap bertahan serta mempertahankan lahannya untuk produksi padi.” Terang Pak
Kemin dengan penuh semangat dan harapan untuk kemajuan petani di masa depan.
Ketika petani sebagai produsen pangan tidak menjadi pihak
yang termarjinalkan maka luas lahan yang sempit dapat termanfaatkan secara
maksimal sehingga konversi lahan tidak lagi menjadi masalah utama.
Elis
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar